Selasa, 08 Februari 2011

Pemusik or Pecandu ?


NARKOTIK jelas tak memilih-milih mangsanya. Tak pandang anak tukang becak, mahasiswa, artis, dan anak pejabat tinggi. Cucu presiden pun pernah merasakannya dan bahkan dipaksa singgah di hotel prodeo. Berikut ini para mantan pemakai dari kalangan selebriti, yang kepada TEMPO mengaku sudah insaf, dan sebagian bahkan menjadi aktivis antinarkoba. Ini kisah sebagian kecil di antara ratusan atau mungkin ribuan selebriti dan orang terkenal di negeri ini yang masih terjerat atau sedang berusaha keluar dari kubangan narkoba.  


Ari Lasso Ia dan empat personel Dewa 19 datang dari Surabaya ke Jakarta, pada 1993, setelah album pertama mereka sukses besar. Sebagai anak muda, mereka terbiasa minum bir dan alkohol. "Tapi belum nyimeng dan ngeboat," katanya kepada TEMPO. Kesuksesan dan nama melambung membuat Ari gamang. Ditambah uang yang mengalir kencang, semua itu adalah awal dari segalanya. Sejak hari pertama di Jakarta, ia langsung mengakrabi Gang Potlot di Jakarta Selatan, tempat kelompok Slank biasa nongkrong. Dulu, di sini segala macam narkoba mudah didapat. Ari pun terjerat. "Mulai nyimeng, nyabu, sampai mutauw aku jalanin semua," kenangnya. Sekitar Rp 300 ribu ia habiskan di sana saban hari. Akibatnya, Ari sering terlambat datang ke latihan grupnya, atau tenaganya ambrol di tengah latihan. Terpaksa teman-temannya mencarikan narkoba-yang dosisnya bertambah terus tanpa kendali. "Tak pakai sehari, badanku melintir tak keruan," ucapnya. Pernah, ketika mereka manggung di Sukabumi, Jawa Barat, desakan ngeboat membuatnya pulang sendiri ke Jakarta. Setelah membeli sabu-sabu, ia balik lagi ke Sukabumi. Juga ketika manggung di Banda Aceh. Ketika ia kumat dan persediaan obat habis, ia minta dikirimkan hari itu juga. Sial, pesawat Garuda yang membawanya dari Jakarta hanya sampai di Medan. Apa akal? Ia terbang ke Medan untuk mengambilnya dengan menyembunyikannya di dalam pakaian. Hari itu juga ia terbang kembali ke Aceh dan manggung pada pukul 7 malam. Bertahun-tahun hidup dengan narkotik, staminanya ambrol. Tapi dulu penonton tak terlalu peduli dengan penampilannya. "Kami sedang di puncak sukses," katanya. Barulah kemudian, setelah rekaman pertunjukannya diputar ulang, stamina dan vokal Ari terlihat melorot jauh. Kalau ia tak datang latihan, teman segrup dan penyanyi lain sudah tahu ia sedang fly. Mereka pun bertaruh: bisakah Ari sembuh? "Nyawaku dihargai seceng (seribu rupiah)," kata Ari menyebut nilai taruhan teman-temannya akan kesembuhannya. Daripada menyusahkan orang lain, ia pun memilih mundur dari grup musik laris itu pada awal 2000. Musibah lain menyusul: ibunya di Surabaya meninggal. Di depan jenazah ibundanya, ia bersumpah ingin sembuh dari narkoba. "Aku mempercepat kematian ibuku," ucapnya lirih. Akhirnya, awal tahun ini, dia berobat dengan metode dari Israel: accelerated neuro-regulator. Caranya dengan membunuh saraf neuroreseptor di otaknya, yang membuatnya kecanduan. Kini ia mengaku sudah sembuh total. Tapi istrinya, ibu dari putri semata wayang mereka, menentukan siapa saja yang boleh menemuinya. "Saya akan kehilangan semuanya jika kembali (ke narkoba) lagi," ungkapnya. Keluargalah yang membuatnya ingin bertahan. Kini, dari kamar apartemennya, ia mendoakan temannya yang masih bergulat dengan narkoba: Rere dari Grassrock, Thomas dari Gigi-dan korban-korban lain yang telah mendahului. 

 
Bimbim Slank Bimbim bersama Kaka dan Ivan adalah tiga pentolan Slank yang sudah mencandui ganja, putauw, dan sabu-sabu sejak 1993. Gang Potlot adalah tempat kumpul-kumpul mereka. Tujuh tahun mereka menggelimanginya. Sejuta rupiah sehari dihabiskan untuk arisan (pesta narkoba). Lalu Bimbim tidak tahu persis kapan berat badannya tiba-tiba turun drastis dan ia merasa selalu loyo tiap bangun pagi. "Waktu itu, kalau sehari enggak ngedoping, rasanya enggak ada semangat," katanya kepada TEMPO. Meskipun nama kelompok musik ini berkibar dan kasetnya tetap laku keras, gara-gara narkoba mereka pecah. Dua orang keluar, meninggalkan Slank dengan tiga personelnya. Kesadaran baru-entah dari mana-datang pada Desember 1999, ketika Pay, mantan gitaris Slank, mampir ke Gang Potlot. Pay bercerita tentang kemampuan Teguh Wijaya, seorang sinse di Pulomas, Jakarta Timur, mengobati kecanduan narkoba dirinya. Dan Teguh jugalah yang akhirnya memang bisa menyelamatkan mereka bertiga dari kejatuhan lebih dalam. "Gue mau sembuh karena gue tahu apa yang gue lakuin diikuti anak-anak muda penggemar Slank (slankers)," katanya kepada TEMPO. Slank memang punya pengikut yang amat fanatik di seluruh Indonesia. Kepada Bimbim, yang menolak masuk panti rehabilitasi atau menjalani toksifikasi, Teguh memberikan 40 tablet tradisional Cina yang mesti diminumnya dalam sehari-selama 10 hari. Hasilnya? Dua hari pertama Bimbim berteriak-teriak karena rasa sakit di kepalanya. Setelah 10 hari, ia merasa lebih enteng, malah tak ingin menyentuh segala macam obat dan merasa mual setiap mencium bau sabu-sabu. "Sekarang pekerjaan gue ngasih tahu teman-teman agar meninggalkan segala macam drug yang cuma merusak masa depan," katanya kepada TEMPO. Belakangan, Bimbim sering diundang ke mana-mana menceritakan pengalamannya. Kini Slank lagi mempersiapkan album ke-10 dan tur ke 36 kota. Bimbim masih bangun siang dan loyo seperti biasa-tapi bukan karena narkoba. Ia rajin begadang mencari inspirasi buat lagu-lagu antidrug-nya. 

 
Fariz., ingat lagu cinta yang amat romantis: Barcelona. Berbeda dengan kebanyakan penyanyi atau artis yang mengutuk narkoba, Fariz, ? tahun, punya pen-dapat unik. "Saya enggak pernah menghujat atau menganjurkan orang agar memakai narkoba. Yang salah kan bukan obatnya, tapi orangnya." Alasannya, jika seseorang kecanduan narkoba, itu karena ia tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Dengan jujur ia mengaku telah lama bergaul dengan narkoba. Sejak berusia 15 tahun, Fariz sudah berkenalan dengan ganja dan pil-pil seperti Rohypnol. Sampai sekarang Fariz sesekali masih mengisap ganja. Itu dilakukannya karena ia menyukainya. Ia tak mau menyalahkan lingkungan atau keluarga jika ia memakai narkoba. Katanya, "Jika saya pecandu, saya enggak bisa ke mana-mana tanpa ngeboat atau nyimeng. Buktinya, saya bisa kerja tanpa ngeboat, kan?" Tapi, jika di waktu senggang ada teman lama yang menawarkan ganja, terkadang Fariz ngisep juga bersama mereka. Alasannya, sekadar melepas kangen atau senang-senang saja. Tapi, kalau sedang bekerja, ia sama sekali tak mau menyentuh narkoba. Alasannya sederhana: narkoba tak memberikan pengaruh positif apa pun dalam proses kreatif, bahkan sebaliknya. Dan itu pernah dibuktikannya sendiri. Ketika sedang jaya-jayanya sebagai penyanyi, pada 1980-an, Fariz pernah sengaja ngedrug sebelum masuk rekaman. Ia dan rekannya merasa mereka bermain oke. Tapi, esoknya, ketika rekaman itu didengarkan lagi, ternyata hasilnya hancur banget. Sejak saat itulah, bagi Fariz, haram hukumnya teler ketika bermusik. Hal inilah yang menjadi bekalnya ketika mengajar. Saat ini, lewat workshop Berlatih Bersama Fariz (BBF), ia menggembleng musisi muda di berbagai daerah. Jika ada yang gemar teler ketika bermain, Fariz paling cuma bilang begini, "Hey, dulu Jimi Hendrix jago main gitar bukan karena nyimeng melulu. Latihan keras dulu, nyimeng belakangan." Ia menyimpulkan, pendekatan sebagai teman efektif mencegah musisi menjadi pecandu. Untuk menghadapi narkoba, Fariz punya resep menarik. Yang terpenting, menurut dia, kontrol diri yang kuat. Kedua, kita harus tahu batas diri sendiri, termasuk dampak buruk narkoba. Fariz mengakui, seorang pemakai narkoba tak mudah menghindari kecanduan. Faktor lain yang juga penting adalah keluarga. Fariz bersyukur punya istri dan anak-anak yang mencintainya. Kini, Fariz merasa hidupnya penuh. Tapi semuanya itu harus melalui proses yang perlahan-lahan. Dampak pergaulan Fariz dengan narkoba yang kini dirasakannya adalah fisiknya yang mudah lemah. Penampilan Fariz sekarang jauh berbeda. Fariz tak lagi segagah dulu. Ia tampak terlalu kurus, sementara rambutnya yang memutih juga mengurangi kesegaran wajahnya

1 komentar: